Perkampungan Adat Nuone Moni – Flores NTT

Logo rumahku Floresitt

 
Simbol – Simbol Permukiman Adat dan Ruang Permukiman Suku Ende Lio di Permukiman Adat Desa Woloara Dusun Nuone Moni.

Permukiman masyarakat Suku Ende Lio merupakan tradisional yang ada di pulau Flores Kabupaten Ende. Seperti permukiman adat lainnya di Indonesia, permukiman Suku Ende Lio memiliki rumah tradisional sebagai tempat tinggal masyarakat adat. Selain rumah tinggal sebagai elemen dasar dari permukiman adapula element – elemen pendukung sebagai pelengkap dalam permukiman adat Suku Ende Lio yang mempunyai fungsinya masing – masing sesuai dengan kebudayaan tradisional.
Terbentuknya suatu pola permukiman sangat dipengaruhi oleh budaya masyarakat setempat (Cut Nuraini 2004). Beberapa contoh permukiman terbentuknya juga sangat dipengaruhi oleh adanya sistim kekeluargaan, seperti yang tejadi di permukiman adat desa WOloara Dusun Nuaone
Keterangan simbol – simbol dari permukiman adat yang ada pada desa Wolotolo adalah :
1. Sao Ria (Rumah Besar)
2. Tupu Mbusu (Batu Lonjong)
3. Sao Bhaku (rumah pengimpanan tulang belulang)
4. Kanga (Arena Lingkaran)
5. Sao Keda (Rumah adat tempat musyawarah)
6. Kuwu lewa ( dapur umum)
7. Rate (Kuburan Besar)
Simbol – simbol dalam permukiman adat Suku Ende Lio yang ada di permukiman adat desa Wolotolo diantaranya adalah :
1. Sao Ria ( Rumah Besar)
Sa’o merupakan rumah, sedangkan Ria artinya besar. Jadi pengertian sa’o ria adalah rumah besar. Sa’o ria merupakan bangunan utama masyarakat Ende Lio dan amat disakralkan. Pada sa’o ria inilah Atalaki Pu’u ( kepala suku tertua) menetap. Ciri khas rumah tradisional sao ria (rumah besar) di Kabupaten Ende khususnya untuk rumah adat, mempunyai bubungan tinggi ( ubu bewa ) kurang lebih 3 m – 9 m dari tiang hingga tutupan atap atau saka ubu dan tiang keliling lebih pendek dari tiang induk rumah atau lake kaka lebih pendek dari lake one sao.
2. Tubu Mbusu (batu Lonjong)
Tugu batu yang letaknya pada bagian tengah koja kanga, perletaknya ditangani oleh seorang ibu Wunu Koli dari keturunan Ata Wolo atau orang lainnya yang ditunjuk. Tubu mbusu sebagi lambang kekuasaan yang dianggap tempat sakral karena dikatakan “ Tubu Mase Mera Lodo “.Tubu mbusu biasa terbuat dari batu lempeng atau sejenis batu lonjong yang di anggar sakral oleh Suku Ende Lio. Proses pembuatannya biasanya melalui tahapan-tahapan upacara adat Ende Lio. Di permukiman adat desa Wolotolo tubu mbusu berada di daerah yang paling bawah menghadap bangunan tradisional sao bhaku
3. Sao Bhaku (rumah kecil)
Bagian bangunan rumah kecil di samping tubu mbusu dengan empat tiang yang diatap dengan ijuk dan ilalang untuk menyimpan tulang kerangka para pejuang yang telah memimpin perang atau rapa tau. Selain mengimpan kerangka para pejuang bangunan ini juga berfungsi sebagai tempat pengimpanan benda–benda yang dianggap sakral masyarakat Suku Ende Lio. Di permukiman adat desa Wolotolo mempunyai duah buah sao bhaku. Sao bhaku yang pertama mengimpan tulang belulang nenek moyang yang pertama kali mendiami desa Wolotolo yang tak berdiding dan sao bhaku yang kedua mengimpan sebuah guci yang memiliki dinding. Guci tersebut peninggalan Portugis yang berisikan air sebagaimana air tersebut sebagai lambang kesuburan masyarakat adat desa Wolotolo. Dalam kurung waktu tertentu di dalam sao bhaku sering diadakan ritual – ritual persembahan kepada arwah leluhur berupa pemberian sesajen segumpal daging yang sudah ada secara turun temurun
4. Kanga ( arena lingkarang)
Kanga adalah pelataran yang berbentuk bulat dan berpagar batu berada didepan sao keda dan sao ria. Tinggi kanga kurang lebih1,5 m – 3 m. Kanga merupakan tempat untuk menari tarian Tandak dan tarian Gawi, yakni tarian keakraban dan kesatuan antara para suku dalam upacara adat. Kanga Suku Ende Lio pada umumnya dihubungkan oleh bangunan tradisional sao keda dimana sao keda dan kanga merupakan suatu kesatuan yang saling berdampingan yang benjadi simbol kesakralan permukiman adat. Semua upacara adat Suku Ende Lio hanya bisa dilakukan di area kanga. Di tengah kanga terdapat dua buah batu lonjong atau juga keburan besar.
Kanga permukiman adat desa Wolotolo di tenyahnya terdapat kuburan atau rate yang bentuk persegi panjang terbuat dari sususan batu – batu ceper yang di anggap sakral. Kanga merupakan tempat suci, symbol kekuatan disitulah para moyang dikuburkan dan diberi persembahan. Disitu pula mereka menyambut Dua Ngga’e pada upacara-upacara adat.
5. Sao Keda ( Tempat Musyawarah)
Sao keda adalah bangunan tradsional dengan atap ilalang yang menjulang tinggi; merupakan bangunan tradisional balai rakyat, tempat dilaksanakan musyawarah adat beserta upacara-upacara adat yang dipimpin oleh para Mosalaki dan Fai walu ana kalo (masyarakat adat). Digunakan sebagai tempat berkumpul para tua adat, dapat juga tempat pengimpanan benda-benda peninggalan para leluhur (ana deo, kiko tana watu dan gading tua). Sao keda dianggap sebagai simbol kesakralan masyarakat Suku Ende Lio karena merupakan cikal bakal permukiman adat.
Letak bangunan tradisional sao keda biasanya berdekatan dengan kanga dimana berada tepat didepannya. Posisi bangunan sao keda dan kanga merupakan daerah yang paling tertinggi di antara permukiman lain karena di anggap sakral oleh masyarakat Suku Ende Lio pada umumnya. Membangun sao keda sama aja membangun rumah adat lainnya hanya bangunan tradisional sao keda tidak mempunyai dinding, letaknya menghadap ke gunung adapula menghadap ke laut dan ada pula menghadap ke dua arah tersebut karna arwah para leluhur datangnya dari arah tersebut.
6. Kuwu Lewa ( Dapur Umum)
Bangunan kuwu lewa merupakan dapur umum masyarakat Suku Ende Lio didirikan khusus untuk memasak daging dari hewan – hewan besar seperti kuda, kerbau, dan babi pada waktu seremonilal adat adat. Letak dari bangunan kuwu lewa berada di sekitar berdekatan dengan sao ria. Kuwu lewa tidak berdinding dan tidak berpenghuni dan bangunan relatif kecil sesuai dengan kebutuhan masyarakat adat di desa masing – masing.
7. Rate Bewa (Kuburan Panjang)
Bagian yang tidak dapat dipisahkan dari permukiman adat Suku Ende Lio adalah rate bewa (kuburan panjang), dimana disetiap permukiman adat sering ditemui kuburan – kuburan kuno yang dimana keturunan Mosalaki (kepala suku) yang pertama di semayamkan. Kekhasan kubur dari permukiman adat Suku Ende Lio biasanya terbuat dari tempengan batu ceper atau watu angi, bentuk kuburan seperti kotak dan bagian atasnya seperti meja. Cara mengubur mayat biasanya dalam posisi duduk dan bagian atas lobang ditutup dengan watu remba sebagai dasar kuburan. Letak dari kuwu lewa biasanya berada di sekitar kanga dan so ria. Hal ini bisa kita liahat di permukiman adat Suku Ende Lio di desa Woloara Dusun Nuone Moni.
Berbeda dengan Suku Ende Lio Lainnya bentuk dari rate bewa permukiman adat desa Woloara Dusun Nuone Moni. berbentuk persegi panjang yang mempunyai empat sudut. Keempat sudut melambangkan dari tingkatan Mosalaki dimana desa Woloara Dusun Nuone Moni memiliki empat kepala suku atau empat tua adat.

 

Mrs. Lisa Tirto Utomo and Rumah Gadang Sumpur

IBU LISA DAN RUMAH GADANG SUMPUR

10964040_605305259601015_719890529_n

IMG-20150131-WA0000

Di tepi Danau Singkarak, ada sebuah nagari dengan rumah-rumah gadang dan pohon-pohon sawo. Itulah Nagari Sumpur yang sudah beberapa kali dikunjungi Ibu Lisa Tirto Utomo. Apa istimewanya nagari ini, dan siapa saja yang datang ke sana?

Nagari Sumpur adalah desa adat seluas 7,3 km persegi, dengan penghuni 2,200 jiwa. Ibu Lisa adalah seorang filantropis, pencinta rumah-rumah adat di Nusantara. Pada bulan Mei, 2013, terjadi kebakaran di nagari yang indah dan subur itu. Lima dari 68 rumah gadang hangus dimakan api.

Inilah yang menyebabkan para pencinta arsitektur dan tradisi datang ke Sumpur. Mereka menikmati buah sawo yang segar dan manis. Lebih dari itu, secara gotong royong mereka kembali membangun rumah gadang yang terbakar. Dua rumah yang telah berdiri adalah rumah Etek Nuraini dan rumah Etek Siti Fatimah.

Pemimpin pembangunan kembali ini adalah Dr. Eko Alvares, wakil rektor Universitas Bung Hatta, di Padang. Dia bukanlah kontraktor yang membangun rumah secara borongan. Rumah gadang didirikan melalui proses yang unik, yaitu gotong-royong bersama para warga. Bukan hanya warga nagari yang tinggal di sana, tapi juga para semenda, perantau dan simpatisan.

Salah satu semenda, samando atau menantu yang adalah Dommy. Pria yang menikahi gadis Sumpur ini memimpin Gerakan Sumpur Memanggil, mengumpulkan bantuan dari berbagai penjuru. Bersama arsitek terkemuka, Yori Antar, para simpatisan dan pendukung arsitektur Nusantara ini menegakkan kembali rumah gadang yang terbakar.

Ibu Lisa Tirto Utomo dengan senang hati ikut menyumbang. Ia selalu bersemangat kalau ada upaya memakmurkan daerah dan melestarikan kekayaan budaya. “Saya hanya ikut mengawali. Kegiatan selanjutnya harus diteruskan oleh para warga setempat dan semua pencitanya.” Begitu pesannya.

Sebelum ikut membangun kembali Rumah Gadang Sumpur, Ibu Lisa sudah aktif membantu pelestarian rumah-rumah adat. Ada rumah panjang di Sintang, Kalimantan Barat. Ada rumah niang di Wae Rebo, Flores. Rumah budaya di Pulau Nias, Pulau Sumba, Rumah Karo di Sumatera utara dan bangunan tradisional di Sulawesi.

Jaman terus berubah. Rumah-rumah besar yang dibangun nenek-moyang, ternyata bisa membebani anak-cucunya. Jadi, untuk merawat dan memeliharanya, perlu banyak dukungan. Contohnya, adalah lima rumah gadang yang terbakar di Nagari Sumpur itu.

Prosesi untuk membangun kembali didukung berbagai lapisan masyarakat. Ketika tiang utama rumah gadang didirikan, bupati dan gubernur pun datang merestui. Sebelumnya ada pertemuan para pemangku adat, ninik-mamak dan para datuk. Sampai 18 kali mereka bermusyawarah untuk memastikan agar tahap demi tahap berjalan baik. Pantun bersahut-sahutan, kitab hukum adat pun dibaca kembali.

Untuk mendapatkan pohon besar yang akan menjadi tiang utama pun diadakan upacara tersendiri. Pohon besar itu disebut kayu Joa – semacam johar yang sangat kuat. Pada saat masih basah bisa ditebang dan diukir. Setelah kering, kerasnya seperti besi. Kuat sekali. Itulah pohon tua yang tumbuh di tepi Danau Singkarak juga.

Upacara menebang pohon dan memasang tiang utama memerlukan dua hari. Musik dan tari-tarian tradisional pun bergelora sampai malam. Para warga nagari berpakain terbagus, dengan sulaman emas dan ikat kepala. Para datuk, bundo kanduang, ninik-mamak ikut memeriahkan suasana.

Ibu Lisa Tirto Utomo tampak bahagia di antara mereka. Dengan tetap tersenyum, ia mengikuti semua acara dari pagi sampai malam. Padahal, usianya sudah menjelang 81 tahun. Ibu Lisa disertai rombongan Tirto Utomo Foundation yang dipimpinnya. Para anggota rombongan inilah yang ikut menikmati bermacam acara. Ada yang suka wisata kuliner, belanja kain tenun, sampai memberi makan ikan di perairan lepas.

“Yang paling penting, tentu bagaimana kelanjutan merawat dan mempertahankan rumah-rumah adat yang telah tegak kembali,” katanya. “Di Sintang, generasi muda kembali belajar menenun. Di Flores dan Sumba, mereka mengembangkan ekowisata.”

Rumah-rumah gadang di Nagari Sumpur pun perlu dikelola menjadi homestay. Bermacam acara tradisional bisa digelar. Ikan bilih – khas Danau Singkarak juga dapat ditawarkan sebagai hidangan. Buah-buah, terutama sawo dan durian pun mengundang minat datang ke Sumpur. Termasuk mencoba kostum tradisional, berfoto selfie bersama para pesilat dan penari, para datuk dan bundo kanduang.

Rumah gadang adalah tempat berkembang dan etalase kebudayaan. Rumah Gadang Sumpur di Kecamatan Batipuh Selatan, adalah ikon wisata Kabupaten Tanah Datar. Kawasan ini termasuk satu di antara tujuh kabupaten terbagus di Indonesia.

Pantaslah kalau didatangi banyak tokoh nasional maupun internasional. Gubernur Sumatera Barat Irwan Prayitno bersama bupati Tanah Datar, M. Shadiq Pasadigoe juga sangat membanggakan. Bersama ketua forum kampuangnya Ibu Kamrita dan para wali nagari yang subur dan ramah itu, mereka menunggu kita semua.

“Ibu Lisa Tirto Utomo dan keluarganya sudah beberapa kali berkunjung ke sini. Sewajarnya kalau kita juga menengok dan mencintai Nagari Sumpur,” kata budayawan Eka Budianta.

Di antara yang hadir pada saat Rumah Gadang Sumpur diresmikan kembali adalah Dewan Pimpinan Badan Pelestarian Pusaka Indonesia (BPPI), Ibu Catrini Pratihari Kubontubuh; art director terkenal Jay Subiakto; penggiat pelestarian Heri Akhmadi dan Ibu Retti Laksamana Sukardi yang juga itu menyumbang. ***

Eka Budianta